RSS

Tenang, Aku masih bisa hidup...

Kapankah waktu yang paling diharapkan oleh orang sepertiku ini? Liburan panjang dan bisa pulang kampung tentunya. Waktu itu, tepatnya satu tahun yang lalu adalah liburan panjang bagi mahasiswa sepertiku. Namun, karena banyaknya agenda yang harus diselesaikan, maka niat mulia untuk pulang kampung pun terabaikan. Hal itu juga yang membuatku tetap bertahan di Kota Pahlawan ini.

Selama satu bulan aku masih terus bertahan. Tiap hari hanya di sibukkan dengan agenda rapat dan syuro’(sebutan rapat bagi Lembaga Dakwah). Hampir bosan aku menjalaninya rutinitas itu. Kadang aku juga merasa iri pada teman-teman lain, yang bisa bangun siang dan menikmati masakan ibunya setiap hari. Sungguh menyenangkan sekali ketika aku membayangkannya. Ehmmm…

Tapi seketika perasaan bosan itu hilang, seiring datangnya agenda lain, NONGKRONG. Aku menyebutnya nongkrong karena kegiatannya hanya berkumpul di parkiran kampus dan membahas hal-hal yang geje alias gak jelas. Kami hanya terdiri dari 4 sampai 5 orang. Hal ini yang kemudian mendekatkan kami, aku dan dia. Dari sinilah persahabatan kami di mulai… Bismillah
Pada tingkat kedua masa perkuliaanku, kami sengaja mengambil kelas mata kuliah yang sama. Dia memang lebih bisa menguasai materi dari pada aku, jadi tak jarang dia membagikan ilmu yang dia dapet denganku. Karena dia tahu, seberapa kemampuanku. Kemampuankku berbicara di depan kelas, ber-presentasi, dan me-ngoding(kenapa harus ada kata-kata ini). Dia yang selama ini mengajariku dengan ketelatenannya. Suatu ketika seusai kuis, Dia mengirim SMS.
“gmn tadi kuisnya, bisa?”, isi pesan tersebut.
“Aku salah menghitung di awal, jadi ke bawahnya salah semua. ” tulisku dengan singkat.

Selang beberapa saat setelah pesankku tersampaikan, telepon selulerku bergetar. Rupanya dari dia.
“Halo, Assalamu’alaykum”, jawabku dengan nada terputus-putus
“Kamu napa menangis”, balasnya dari seberang

Dengan segala cara dia menghiburku dan memotivasiku kembali agar aku bisa bangkit. Dan akhirnya aku pun dapat menghentikan tangisanku itu.(ketahuan dech kalau aku itu amat sangat cengeng!) Dia selalu bisa membuat aku tersenyum di saat aku bersedih, membuat aku bangkit di saat aku terjatuh, dan membuat aku tenang di saat aku gelisah. Selalu menuntunku di setiap ada masalah. Hal ini yang membuat aku semakin tergantung dengannya. Aku tak mampu mengambil suatu keputusan sendiri, tanpa dia. Aku selalu dan selalu mengandalkannya. Hingga suatu hari dia sadar, kalau hal yang dia lakukan ini akan berdampak buruk bagiku. Aku tak mampu mengambil keputusan sendiri. Aku tak akan bisa hidup mandiri.
Gimana gak, setiap ada masalah hanya nomor telepon selulernya yang selalu aku hubungi selayaknya nomor info 108. Aku semakin menjadi jadi setelah aku tertimpa masalah besar. Sedikit-sedikit aku menelpon, hanya sekadar tanya “di mana?”. Dan kalau dia gak angkat teleponnya, aku tiba-tiba nggondok dengan mengirimkan sms yang berisi
“Lagi sibuk ya?maaf udah ganggu waktunya”, Ya begitulah kalau ke-sensitifan-ku lagi kumat.
Padahal Aku hanya ingin selalu dihiburnya dengan kata-kata pembakar semangatnya.

Hingga suatu hari, tiba-tiba dia ngilang gitu aja. Bagaikan di telan Bumi. Aku sms gak dibalas, aku telepon gak di angkat. Waktu berpapasan di jalan, dia memalingkan mukanya. Dan disaat aku berniat menghampirinya, dia pergi begitu saja. Sudah lebih dari satu minggu dia memperlakukanku seperti itu. Seperti angin yang sedikitpun tak nampak di depan matanya. Jujur, aku down banget saat itu. Aku seperti kehilangan tongkatku untuk berjalan. Pembakar semangatku serasa telah tersiram air hingga tak terbekas. Aku bingung mesti ngapain. Aku tak tahu harus bagaimana.

Hal-hal negative tak jarang berkeliaran di otakku.
“Apa dia sudah punya calon ya? Pacar gitu?”, si devil berbicara di otakku
“Masak sich? Gak mungkin ah, sapa juga yang mau sama dia?”, devil satu lagi bergumam
“Mungkin aku salah ya sama dia, tapi salah apa ya?”, Angel bertindak

Huft, tak pernah ada jawaban pasti dari dia. Aku sudah lakuin yang aku bisa, seperti menyunting hadist berikut : "Tidak halal bagi seorang muslim memboikot (tidak bertegur) dengan saudaranya di atas tiga hari, mereka bertemu namun saling berpaling muka, sebaik-baik mereka adalah yang memulai dengan salam (HR Muttafaq ''alaihi) dan mengirimkannya via sms.

Namun hal itu masih juga tidak membuahkan hasil. Aku tak tahu apa yang dia harapkan. Apa yang dia pikirkan. Aku hanya bisa menangis di setiap malam. Tanpa tahu apa yang akan terjadi esok. Hingga di suatu malam, aku tersadar kalau gak mungkin aku akan seperti ini selamanya. Gak mungkin aku akan tergantung dengan dia seumur hidupkku, dengan kemampuannya. Aku sadar dia juga manusia normal yang menginginkan kebebasan dan kebahagiaan. Mungkin memang hanya sampai disini saja kisah kami. Kisah yang indah dan hanya kami yang tahu. Kisah dimana seseorang saling melengkapi kekurangan dan kelemahan masing-masing. Kini hanya doa di setiap malamku yang bisa aku panjatkan padaNya, agar dia selalu berada dalam lindunganNya. Dan berkata dalam hati “Tenang aku masih bisa hidup, tanpamu…” Karena Allah SWT…
[/men]
Wallahu a'lam bishshawab, ,
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh

masih kisah geje, dan dalam masa "belajar menulis"...
Harap di maklumi teman2...
Dan tentunya, mohon do'anya...
makasih...
:)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hari ke-7 kepergiannya...

Entah dapat wangsit menulis dari mana, aku tak tahu. Bismillah... Hanya terlintas dalam otakku, aku pengen nulis ah...

Ternyata baru 7 hari dia ninggalin aku, tapi kok rasanya kayak sudah se abad ya? (Halah lebayy). Banyak banget cerita numpuk yang belum sempat aku transfer ke dia, sampai akhirnya aku mutusin buat menulisnya. Berharap pas dia dah kembali, aku bisa ingat lewat tulisan-tulisan ini... Insya Allah.

Rasanya sekarang aku sudah banyak berubah, bukan lagi aku yang dulu. Aku sudah bisa "ontime" lho, masa percobaan 1 minggu. Huaaaa, seneng banget ya rasanya pas tahu kalau kita dateng tepat waktu. Tapi jengkel juga sich liat temen-temen yang masih suka ngaret datengnya. Padahal aku dulu juga kayak mereka. Hehehe... Kemarin aku sempet telat juga, lama banget malahan. Soalnya masih nunggu jemputan. (Hiyaaa, nebeng ae!)

Waktu pemilihan staff itu, asli aku kebingungan buat nentuin siapa-siapa saja yang bakal jadi partner kerjaku selama satu tahun ke depan. Kalau saja dia ada pada waktu itu, pasti aku bisa tanya-tanya sama dia yang notabasenya lebih tahu banyak tentang sifat-sifat para kandidat calon tersebut. Dan pasti aku bertukar pikiran sama dia, " Eh, si A ini gimana sich orangnya? Trus kalau si B, dia itu bisa datang ontime gak y?" Pertanyaanku yang panjang dan tak jarang membuatnya geram. Tapi, dengan sabar dia pasti menjawab " Kal si A itu, pertama dia orangnya bla, bla , bla... Kedua, dia itu bla, bla, bla.. Ketiga, dia gag suka bla, bla... dst" Jawabnya dengan sangat terperinci dan jelas.
Nah, aku sempet agak bingung waktu itu. Tanpa dia rasanya aku nggak bisa mengambil keputusan yang tepat. Aku takut banget kalau pilihan-pilihanku itu bukan yang terbaik, jelas saja bingung soalnya dari beberapa calon yang mengikuti tahap wawancara semuanya istimewa. Setelah mengalami diskusi panjang dengan beberapa teman, akhirnya masalah itupun dapat teratasi. Dan aku hanya bisa mengucap Alhamdulillah... Aku bisa untuk pertama kalinya tanpa dia.

Masalah kedua muncul, setelah aku di amanahin buat pesen makanan untuk sebuah acara syukuran di kampus. Aku kewalahan cari tempat makanan yang enak dan tentunya murah. Maklumlah, mahasiswa! Dana yang kami punya tak begitu banyak sedangkan sebagai calon ibu rumah tangga aku tahulah kalau sekarang harga bahan pokok mahalnya selangit. Dibantu salah satu temen(bendahara), akhirnya berhasil menemukan tempat yang cocok. Tapi masalahnya, aku baru pertama pesen di tempat itu. Hatiku berasa dag-dig-dug... Takut kalau rasanya kurang pas dan makanan yang di pesen gak cukup di hari H nya nanti. Soalnya aku pesen prasmanan, dan gak ada kepastian jumlah undangan yang bakal datang. Hari H pun datang, lhah si temen yang nemenin aku tadi (bendahara) ternyata gak bisa dateng karena ada acara yang gak bisa ditinggalkan. Aku semakin takut, seharusnya kami berdua yang menjadi penanggung jawab." Wah, matilah sudah", kataku dalam hati. Tapi untungnya nasib baik sedang berada di pihakku, ada banyak teman yang siap membantu. (thanks to AM, EC, NW, HA). Dari sini, aku juga mengharapkan kedatangannya. Biasanya dia pasti langsung telepon, "pesen di mana maemnya tadi?", tanya dia penasaran. "Napa? Gak enak ya?", balas tanyaku. Dan dia pasti berkomentar dengan panjang dan lebar samadengan luas. Maklum, dia termasuk pengamat makanan. Hampir semua makanan yang direkomendasikan dia, pasti juga cocok di lidahku dan teman-teman. Aduh gak kebayang dech, gimana ntar yang jadi istrinya.Sabar aja ya dan kayaknya harus kursus masak dulu. ^^

Selama tujuh hari ini, aku sering menyibukkan diri. Satu hal yang jadi susah buat ditinggalin adalah baca buku dan chatting tentunya. Pas aku lagi chatting, tanpa sengaja aku menambahkan ID di salah satu account chatku. Rupanya orang itu bukan orang biasa, beliau adalah calon pengajar di salah satu universitas negeri di tanah air. Sekarang beliau sedang mengemban tugas S2 di luar negeri. Waduh, aku sudah terlanjur di approve oleh beliau, dan memulai percakapan. Aku gak tahu harus bilang apa, rasa grogi, takut dan was-was mulai menguasai diriku. Aku menghela nafas panjang-panjang, sembari memikirkan apa yang akan aku ketikkan pada keyboard. Dalam keadaan seperti ini, aku kembali mengalihkan pikiranku pada dia. Dia tahu betul tentang aku, dia tahu seberapa besar rasa minder, ketidak percaya dirian yang aku punya. Aku juga susah berkomunikasi dengan orang-orang hebat (akibat over minder). Benar-benar susah menerima kepergiannya yang menurutku begitu mendadak ini. Kadang aku berpikir, mungkin dia sudah capek mentransfer ilmu kepadaku karena aku terlalu keras kepala, terlalu malas mencoba hal-hal baru, terkadang bahkan menyerah sebelum mencoba. Back to topic, bagaimana kelanjutan chattingnya? Rahasia.. hehehe...
Sampai sekarang aku masih berpikir, mungkin kalau waktu itu ada dia aku bisa bertanya tanya lebih sambil belajar berkomunikasi dengan orang yang baru aku kenal. Namun, aku juga harus menerima ini semua dan mengambil hikmah dari kepergiannya. Dengan begini aku berharap bisa menjadi lebih mandiri dan tegar, seperti yang dia harapkan dulu.[/men]

Alhamdulillah, aku bisa menyelesaikan tulisan pertamaku. Aku berharap bisa nulis yang lebih, lebih, dan lebih baik lagi. Insya Allah... Amin...
mohon doanya ya teman-teman... ^^
Surabaya, GM 16

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS